Rabu, 30 Desember 2009

Cerpen - Dia Merenggut Nyawa Anakku

Matahari sudah menampakkan wajahnya sejak tadi. Dirinya pun sudah menyinari dunia. Sinarnya memancarkan cahaya yang hangat setiap pagi. Angin dingin yang menusuk tubuh telah gugur dikalahkan panas dirinya. Pasukan awan hitam pun sudah pergi terbakar cahaya kedatangannya. Kuat sinarnya mampu menembus jendela-jendela kaca di seluruh pelosok negeri maupun pulau-pulau kecil. Awan-awan putih yang menyiratkan sejuta kebahagiaan berdatangan mengiringi langkah tegap Sang Dewa Pagi.

Di suatu pulau terpencil bernama Pulau Shannon, terlihat ratusan rumah yang letaknya berdekatan. Rumah-rumah itu sedang sibuk membuka kain lusuh penutup jendela mereka. Sang Mentari pun langsung menerobos masuk ke rumah-rumah itu dan memberikan secercah harapan baru bagi setiap orang yang menantikannya. Dari kerumunan rumah yang bersinggungan, terlihat sebuah rumah yang agak sederhana. Atap dan tembok yang baru dicat putih menjadi tiang pancang pendiri tempat itu.

Denting waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Terlihat sesosok wanita setengah baya sedang menyiapkan sesuatu di meja makan. Tak ada seorangpun yang membantunya. Tetes demi tetes keringat yang jatuh dikeningnya selalu dihapusnya dan tak pernah membuatnya berhenti melakukan tugasnya.

”Ibu..! Reina pergi dulu... Reina ga jadi makan, udah telat... Daaahh...”Tiba-tiba, terdengar teriakan dari seorang gadis yang beranjak dari kamar kecil berhiaskan warna birunya. Ia mengenakan pakaian putih abu-abu yang bertuliskan dua patah kata, ’Reina Anneta’. Dari pakaiannya yang sangat jauh dari kata rapi, dapat dipastikan bahwa ia seorang putri SMA yang tidak berkelakuan baik maupun berhati putih. Reina pun segera memakai sepatu hitam barunya dan meninggalkan tempat tinggalnya secepat kilat. Ibunya belum sama sekali memberikan jawaban untuk anak emasnya itu. Ia hanya mampu menjawab dalam hatinya dan berharap akan didengar oleh anaknya....”Nak, tidak apa-apa jika kau tidak sarapan bersama Ibu... Ibu sudah menaruh bekal di tasmu agar kau tidak lapar... Hati-hati ya,Nak... Doa Ibu selalu bersamamu... Ibu sayang padamu...”

Dari wajah Ibu itu, terlihat tetesan air mata yang berlinang membasahi pipinya. Hatinya bagai tersayatkan seribu pisau melihat perlakuan anak sematawayangnya untuk membalas kasih Ibunya. Tetes darah dan keringat pengorbanan Sang Ibu bagai tak ada artinya lagi. Tapi, Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa sampai kapan pun dan apa pun perlakuan anaknya pada dirinya, Ia tetap rela mengorbankan segalanya bahkan jiwa-raganya. Di dalam hati putihnya, masih tersimpan jutaan maaf yang tak terhingga untuk anaknya. Ini semua dilakukannya demi pembuktian pada anaknya bahwa : ”Kasih Ibunya adalah tulus sepanjang masa....”

Mentari hangat kini telah berganti menjadi sinar terik yang sangat menyengat. Di lapangan sekolah Reina yang terhampar luas, tampak Reina dan teman-temannya sedang tertawa-tawa. Mereka terdiri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki. Ibu Erlina, yang tak lain adalah Ibunda Reina, melihat Reina sedang tenggelam dalam kegembiraan di dunianya sendiri. Bu Erlina memilih untuk tidak mendekatinya dan memutuskan untuk langsung menuju kantor Kepala Sekolah demi memenuhi panggilan dari sekolah. Ketika Reina menengok pada Ibunya, tak tersiratkan segaris pun senyum ramah dari hatinya. Tanpa disadari, Reina telah menancapkan satu buah paku yang runcing ke dalam hati Sang Ibu tercinta...

”Tok..Tok..Tok..” Bu Erlina mengetuk pintu kantor Kepala Sekolah. ”Iya, silahkan masuk.. Oh, Ibu Erlina. Silahkan duduk Ibu, ada hal penting yang saya ingin bicarakan dengan Ibu mengenai anak Ibu, Reina Anneta.” sambut Bu Tyra dengan ramah pada Bu Erlina. Seramah-ramahnya Ibu Tyra, masih bisa terlihat wajahnya yang tergores dengan garis kecemasan walaupun sangat tipis. Bu Erlina menjadi sangat heran terhadap hal ini. Dalam hatinya tergambar suatu tanda tanya besar, ”Apa yang sebenarnya dilakukan Reina? Apakah Reina akan dikeluarkan?.....” dan masih banyak lagi pertanyaan yang timbul di pikiran Bu Erlina.

Kata demi kata yang keluar dari orang yang memimpin sekolah didengarkan dengan serius oleh Bu Erlina. Ia menyatakan bahwa Reina terpaksa diskors dari tempat ilmunya karena terkena kasus narkoba bersama teman-temannya. Tanpa disadari, air mata Bu Erlina menetes dengan derasnya. Ia merasa bahwa ia telah gagal mensukseskan anaknya. Ia menyadari bahwa Ia tidak berhasil mengurus anak kebanggaannya. Kerja kerasnya selama ini seakan sirna dalam sekejap dan tak ada nilainya lagi. Ia sangat bingung tentang apa yang akan dilakukannya dan apa yang akan ia berikan pada teman-temannya sebagai alasan dari perbuatan anaknya. Kaki dan tubuhnya seketika itu terasa kaku, ia tak mampu berkata-kata dan bertindak. Hatinya kini bukan hanya tergores atau tertancap paku, tapi sudah dipotong-potong menjadi bagian yang paling kecil....

Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan mengucapkan selamat tinggal pada semua orang. Ibu Erlina sudah menunggu Reina dan memasakkan Reina makanan kesukaannya. Setelah Reina pulang, Ibunya menyambutnya dengan senyum dan pelukan hangat. Reina tidak menghiraukan hal itu dan langsung duduk di meja makan. Ibu Erlina menanyakan tentang kasus narkobanya, tetapi Reina menyangkalnya dan langsung meninggalkan meja makan. Ia melemparkan tasnya ke tempat tidur, lalu membanting pintu kamarnya sekeras mungkin.

Beberapa saat setelah itu, Ibu Erlina membawakan makanan untuk Reina ke kamarnya. Hati tulusnya masih mendorongnya untuk tetap menyayangi Reina. Ia membawakan sayur bayam dan kacang rebus kesukaan Reina yang dibelinya di dekat tempat kerjanya. Sesampainya di kamar Reina dan membuka pintu yang bertuliskan ’Kamar REINA ANNETA..’, Ibu Erlina merasa sangat kaget. Piring ditangannya tanpa sadar terjatuh. Tubuhnya kaku dan bagai melayang di udara. Ia seakan tak bisa merasakan lagi denyut nadinya setelah melihat Reina tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Ia langsung menelpon ambulans dan secepat kilat membawa Reina ke rumah sakit. Di hatinya tersiratkan pertanyaan besar..”Reina, jangan tinggalkan Ibu sendiri.. Ibu akan berjuang demimu, Nak...”

Reina langsung dimasukkan kedalam ruang ICU. Dalam keheningannya, Ibu Erlina terus menangis tanpa henti. Air matanya seakan takkan pernah habis hingga kesadaran anaknya pulih. Seketika itu, laki-laki berjas putih keluar dari ICU dan menghadapkan wajahnya pada Bu Erlina, ”Bu, anak Ibu, Reina Anneta, menderita overdosis karena pemakaian narkoba yang berlebihan. Sampai sekarang, Ia belum sadarkan diri. Ia masih harus dirawat di sini sampai ia sadar..”.

Tak terasa sudah hampir satu minggu Reina dirawat. Detik demi detik Ibu Erlina menunggu kesadaran anaknya. Ia sudah menjual semua harta bendanya bahkan rumahnya sendiri demi pengobatan anak kesayangannya. Setiap hari derai air mata terus membasahi pipinya yang baru saja mengering. Tak bosan-bosannya Ia duduk disamping Reina dan menunggu Reina membuka matanya kembali.

Sampai suatu ketika, Reina sadarkan diri. Ia memegang erat tangan ibunya dan meminta maaf dengan terbata-bata, ”Bu, maafkan Reina... Maafkan Reina kalau air mata Ibu terus mengalir karena Reina... Sekali lagi maafkan Reina... Reina menyesal telah menggores hati Ibu dengan tindakan jahat Reina...Maafkan Reina, Bu...”. ”Ibu selalu memaafkanmu, Anakku sayang.....” jawab Bu Erlina sambil memeluk erat tubuh Reina. Tangisan Ibu Erlina menjadi semakin deras. Tak lama setelah itu, tangan Reina mengendur. Dahan yang tertiup angin menjadi saksi akhir dari hidup Reina. Kini Reina telah menuju tempat yang tak seorangpun mengetahuinya, tentunya dengan kebahagiaan dan kata maaf yang sangat berharga dari ibunya.

Pengorbanan Ibu Erlina terhadap anak kesayangannya terkesan sia-sia bagi orang-orang disekitarnya. Tapi, bagi Ibu Erlina, pengorbanannya tak pernah sia-sia bagi Reina. Dan karena pengorbanannya, ia masih memiliki kesempatan untuk mendengar suara terakhir Reina dan mengucapkan kata terakhir untuk anaknya dari lubuk hatinya. Kenyataan bahwa Reina telah meninggalkannya terpaksa diingatnya selalu. Tapi, ada satu hal yang menyertai kenangan kelam itu di pikirannya....bahwa... Ibu selalu menyayangi Reina....

by, me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar